Sunday, December 27, 2009

Ibuku, Matahariku!

Ibu. Kata tersebut begitu sejuk dilantunkan. Terasa indah didengarkan, dan begitu menggugah jika diselami maknanya. Dan ''Ibuku'', tulis pujangga Kahlil Gibran, menjadi sebutan paling indah dalam hidup; kata yang penuh semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu, yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah wujud ketulusan, simbol keikhlasan. Ibu selalu memberi dan tidak pernah berharap menerima. Dia tidak hanya melahirkan anak-anak manusia penerus bangsa, tetapi juga membesarkan putra-putri mereka untuk menjadi permata di kehidupannya. Menjadi berlian yang menerangi dunia, seperti matahari yang menyinari seisi alam.

Ketulusan ibu tak terhingga. Tak ada batasnya. Luasnya laut, tingginya gunung, dan buih-buih awan di langit jika dikumpulkan, masih tidak mampu menandingi keluasan hati seorang ibu kepada anak-anaknya. Demi para buah hatinya, dia tidak peduli hujan badai atau petir menggelegar. Dia tetap membawa anak-anaknya untuk menatap matahari, menjangkau semesta alam, untuk berbuat kebajikan.

Dengan denting-denting indah, Iwan Fals mengibaratkan kasih ibu seperti udara sehingga kita pun tidak mampu membalasnya. Tak heran, jika kemudian ibu disamakan sebagai fondasi utama sebuah negara. Masa depan bangsa tergantung ibu dan sifat-sifatnya itu.

Inilah yang tidak dimiliki sebagian pemimpin bangsa saat ini. Para pejabat, politikus, dan wakil rakyat lebih asyik dan bangga 'berjual-beli' posisi serta kepentingan dibandingkan mementingkan rakyatnya. Mereka memilih membela kepentingan partai politik dan pemimpin politiknya, ketimbang memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas.

Sikap ketulusan seorang ibu tidak ada dalam diri mereka. Karena itu, berbagai intrik pun dilakukan untuk menjatuhkan atau membunuh karakter lawan-lawan politiknya. Hal-hal kecil dibesar-besarkan, seolah-olah hal itu telah merusak kepentingan rakyat.

Yang menyedihkan, para pemimpin bangsa seperti lupa dengan pengorbanan seorang ibu. Mereka masih menelantarkan jutaan kaum ibu di Tanah Air; mengabaikan pendidikannya; membiarkan kesehatannya tak terurus dengan baik; dan menutup mata atas masih tingginya kematian para ibu.

Para pemimpin seolah tak peduli dengan masih banyaknya para permata jiwa ini yang harus bergulat dengan kemiskinan. Membesarkan anak-anaknya tanpa perhatian para petinggi negara, dan menjelajah hidup dari satu jembatan ke jembatan lain agar terhindar dari sengatan matahari dan basah kuyupnya hujan.

Tentu, Cut Nyak Dien, Kartini, Dewi Sartika, dan kaum perempuan pahlawan bangsa akan bersedih hati jika melihat masih banyak kaum ibu yang hidup terpinggirkan. Hati mereka hancur jika melihat ketamakan para pemimpin bangsa, yang kemudian mengabaikan para ibu dan membiarkan mereka hidup dalam kesengsaraan.

Ibu memang tidak berharap jasa-jasanya kembali, tetapi bukan berarti bangsa ini membiarkannya terus menangis. Sudah sepantasnya kita semua lebih peduli kepada kaum ibu yang keteguhan dan keikhlasan hatinya begitu luas. Semestinya, tak ada lagi cerita seorang ibu yang diusir dari rumah sakit bersalin karena tidak mampu membayar persalinan anaknya. Atau, kisah pilu ibu yang meregang nyawa di jalan karena tidak makan berhari-hari.

Kita juga tidak ingin lagi mendengarkan tingginya kematian ibu ketika dia melahirkan. Demi ibuku, ibu kita, matahari kita, sepantasnya kita bergandeng tangan menyejahterakan bangsa ini dengan penuh ikhlas.

No comments:

Post a Comment