Thursday, February 25, 2010

Wajah Asing di Kedokteran Indonesia


Mahasiswa Malaysia suka kuliah Kedokteran di Indonesia
Kenapa yaa??

Karena pada Kuliah life specimen di Perguruan Tinggi Kedokteran di Indonesia pakai 'mayat', di Malaysia pakai 'dummy' (=boneka). Jadi, pengalamannya lebih banyak di sini," kata Menkes Menkes Siti Fadilah.


Fakultas kedokteran di berbagai universitas negeri di Indonesia kebanjiran mahasiswa asing. Seperti dialami Kishore, mahasiswa asal Malaysia, yang memilih kuliah kedokteran di UGM, karena lebih unggul dibandingkan dengan kampus di negerinya. "Misalnya, kuliah life specimen di sini pakai mayat, di Malaysia pakai dummy. Jadi, pengalamannya lebih banyak di sini," katanya. Setelah lulus dari FK UGM, ia berencana bekerja di rumah sakit di negaranya. Menteri Kesehatan justru khawatir dan mengeluhkan hal itu. Menurut Menkes Siti Fadilah, alasan perguruan tinggi negeri menerima mahasiswa asing hanya karena ingin dibilang world class. "Yang saya sedihkan, mahasiswa asing itu praktek di rumah sakit pendidikan yang dananya dibiayai pemerintah," ujarnya. Pada saat ini, kata Siti Fadilah, Indonesia masih kekurangan dokter. Jika mahasiswa asing itu nanti lulus, mereka bisa langsung menjadi dokter di Indonesia tanpa beradaptasi. "Sedangkan dokter-dokter kita bisa jadi kuli. Ini sangat ironis," katanya.

[Pendidikan, Gatra Nomor 45 Beredar Kamis, 18 September 2008]


Praktek bedah Kuliah kedokteran di Indonesia karena pertimbangan Bila pakai model kera atau babi (apalagi dummy) hasilnya kurang efektif, karena struktur hewan berbeda dari manusia. Paling tepat menggunakan mayat baru, karena struktur anatomi dan jaringannya masih sama dengan manusia hidup. Sehingga suasana latihan pun mirip bedah sungguhan. Jenazah demikian dicapai bila sebelum delapan jam sejak meninggal diawetkan dengan teknik tertentu.



Jenazah untuk Praktikum Bedah

Kelompok Kerja Program Silent Mentor, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), minta panduan agama kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Program di FK-UI itu hendak menggunakan jenazah untuk pelatihan bedah. Selama ini, latihan bedah menggunakan pasien hidup. Risikonya, kerap terjadi kesalahan yang berakibat cacat dan kematian.

Bila pakai model kera atau babi, hasilnya kurang efektif, karena struktur hewan berbeda dari manusia. Paling tepat menggunakan mayat baru, karena struktur anatomi dan jaringannya masih sama dengan manusia hidup. Sehingga suasana latihan pun mirip bedah sungguhan. Jenazah demikian dicapai bila sebelum delapan jam sejak meninggal diawetkan dengan teknik tertentu.

Regulasi seputar donor mayat untuk keperluan pendidikan selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1981. Di sana diatur ketentuan persetujuan keluarga jenazah, lokasi baku operasi bedah, status mayat tak dikenal, dan sebagainya. Meski sudah diatur negara, masih ada pasal yang menyerahkan urusan pada ketentuan agama.

Bagaimana perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat, menurut Pasal 4 dan 8 PP itu, dilaksanakan sesuai dengan agama masing-masing. Karena populasi terbesar negeri ini muslim, FKUI perlu bertanya tentang pandangan hukum Islam kepada PBNU. Kamis siang pekan lalu, digelarlah kajian awal lewat forum bahtsul masail di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, dengan tema ''Perspektif Hukum Islam tentang Program Silent Mentor''.

"Kami berharap bisa dibantu para kiai bagaimana desain hukum agamanya," ujar dr. Aditya Wardhana, wakil dari FKUI. PBNU menghadirkan Faizah Ali Sibromalisi, doktor tafsir lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Kebetulan Faizah juga anggota Komisi Fatwa MUI. Dikatakan bahwa empat bulan sebelumnya, Komisi Fatwa MUI mengkaji tema serupa.

Ada pertanyaan dari lembaga penelitian yang hendak mengembangkan obat baru pengawetan jenazah. Obat yang dimasukkan lewat dubur itu bisa dipakai, misalnya, untuk mengawetkan jenazah TKI yang akan dipulangkan ke Tanah Air. Untuk meneliti efektivitasnya, obat itu akan diujicobakan pada jenazah asli. Bolehkah jenazah tidak langsung dikuburkan untuk keperluan riset?

Sebagai studi pendahuluan, MUI menugasi anggotanya, KH Ahmad Munif Suratmaputra, membuat makalah. Karena belum banyak literatur fikih klasik yang mengupas tema ini, Faizah dalam diskusi di PBNU itu sepenuhnya mengutip makalah Munif Suratmaputra. Gatra kemudian menemui langsung Munif di pesantren asuhannya, Nuruzzahroh, di Depok, Jawa Barat.

Munif mengisahkan kasus nyata di Malang, Jawa Timur. Pada Juli 2003, Budi Setiawan, 75 tahun, mendonorkan seluruh organ tubuhnya untuk kemanusiaan dan kedokteran. Donor ini diserahkan keluarga kepada FK Universitas Brawijaya (Unibraw) dan Bank Mata Cabang Malang. Sehari setelah meninggal, dua kornea matanya didonorkan kepada warga Malang dan Surabaya.

Serah terima jenazah total dilakukan empat hari setelah Budi meninggal. Selain kornea mata, organ tubuh Budi tidak dapat didonorkan. Sebab ia meninggal biasa. Tapi jenazah Budi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran. Jenazah tadi telah diawetkan.

Praktek demikian, menurut Munif, disinyalir sudah lama berlangsung dalam dunia kedokteran. Sering terjadi pada jenazah korban kecelakaan yang tidak teridentifikasi atau tidak diketahui keluarganya. ?Bahkan ada informasi, ada yang terjadi lewat transaksi jual-beli dengan nilai hingga berjuta-juta,? kata Munif.

Tema penggunaan jenazah sebagai objek penelitian, menurut pelacakan Munif, termasuk kasus baru yang jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Quran dan hadis (nash). Padanan eksplisit dalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai metode qiyas (analogi). Kasus demikian, dalam kajian fikih, kata Munif, dicari solusinya dengan metode takhrij. Yakni, dicari analogi pada norma hukum yang dihasilkan lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung oleh nash.

Dalam literatur fikih kontemporer, Munif menemukan dua model pendapat. Pertama, pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-Mith'i, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan: mengambil harta orang, misalnya permata, yang tersimpan di perut jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian, katanya, tidak boleh (la yajuuz).

Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil permata yang tersimpan di perut jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum atau almarhumah tidak meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan di atas hak Allah.

Dalam mazhab Syafi'i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat dilakukan secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hanbali melarang.

Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. "Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih hidup," sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibn Majah, dan Abu Daud dengan sanad yang sahih.

Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadis itu secara mutlak, dalam kondisi apa pun. Sedangkan alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.

Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah, sebagaimana ditelusuri Munif, berkomentar terhadap hadis tadi. Menurut Syekh Abdul Majid, hadis itu berlaku bila tidak ada kemaslahatan lebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih krusial yang ingin diraih, seperti menyelamatkan janin, maka termasuk pengecualian.

Menurut Munif, fatwa MUI Nomor 19, tanggal 5 Februari 1988, menyebutkan bahwa penyelidikan ilmiah terhadap mayat tidak dilarang oleh Islam. Setelah dipakai penyelidikan, mayat itu wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.

Akhirnya sidang Komisi Fatwa MUI, empat bulan lalu, membuat keputusan dengan beberapa klausul. Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya, menyegerakan jenazah dikuburkan.

Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkan maslahat lebih besar: memberikan perlindungan jiwa. Bukan untuk praktek semata.

Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan jenazah untuk penelitian harus dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan mekanismenya.

Fatwa MUI juga disampaikan pada diskusi di PBNU itu oleh Aminuddin Yaqub, Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Peserta diskusi di PBNU meminta NU tidak langsung mengambil keputusan. Pengurus Lembaga Bahtsul Masail kemudian membentuk tim khusus untuk mematangkan rumusan itu.

Asrori S. Karni, Deni Muliya Barus, dan M. Nur Cholish Zaein
[Agama, Gatra Nomor 43 Beredar Kamis, 4 September 2008]

No comments:

Post a Comment