(Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa)
Sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri. Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah SAW. Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh.
Jundub bin Junadah bin Sakan atau lebih dikenal dengan nama Abu Dzar al-Ghifari atau Abizar al-Ghifari. Abu Dzar al–Ghifari merupakan salah satu dari Assabiqunal Awwalun. Al–Ghifari merupakan julukan bagi Abu Dzar karena ia berasal dari daerah Ghifar. Ghifar merupakan salah satu nama kabilah yang gemar melakukan perjalanan yang jaraknya sangat jauh dan tiada tandingannya baik dalam jarak tempuh maupun keberaniannya.Ia memeluk Islam dengan sukarela, Ia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya.
Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia dibebaskan dari suku Quraisy, setelah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh pertempuran-pertempuran selama Nabi Muhammad hidup.
Dia dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Bizantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat.
Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik penguasa semena-mena ini mengatakan, “Di perjalanan saya temukan mata air.
Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya.” Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, “Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu.” Abu Dzar Al-Ghifary, sahabat setia Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.
Masuk Islam
Tidak diketahui pasti kapan Abu Dzar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat jalur kafilah Mekkah, Syria. Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al-Ghifar, Abu Dzar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi. Ini merupakan hijrah pertama Abu Dzar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abu Dzar tak lama tinggal.
Mendengar datangnya agama Islam, Abu Dzar pun berpikir tentang agama baru ini. Saat itu, ajaran Nabi Muhammad ini telah mulai mengguncangkan kota Mekkah dan membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Abu Dzar yang telah lama merindukan kebenaran, langsung tertarik kepada Rasulullah, dan ingin bertemu dengan Nabi SAW. Ia pergi ke Mekkah, dan sekali-sekali mengunjungi Kabah. Sebulan lebih lamanya ia mempelajari dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu masyarakat kota Mekkah dalam suasana saling bermusuhan.
Demikian halnya dengan Kabah yang masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi juga datang ke sana untuk shalat. Seperti yang diharapkan sejak lama, Abu Dzar berkesempatan bertemu dengan Nabi. Dan pada saat itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih dan berani.
Kisah masuk Islamnya Abu Dzar
Diceritakan oleh (Abu Jamra): Ibn Abbas ra. berkata pada kami: Maukah kalian aku ceritakan kisah tentang masuk Islamnya Abu Dzar? Kami menjawab: “Ya”
Abu Dzar berkata, “Aku adalah seorang pria dari kabilah Ghifar, Kami mendengar bahwa ada seseorang mengaku nabi di Mekkah. Aku bilang pada seorang saudaraku,
‘Pergilah temui orang itu, bicaralah dengannya lalu kabarkanlah beritanya padaku’. Dia pergi menjumpainya dan kembali. Aku bertanya padanya, ‘Ada kabar apa yang kau bawa?’, Dia berkata,
‘Demi Allah, aku melihat seorang pria mengajak pada hal-hal yang baik dan melarang hal-hal yang buruk’, Aku berkata padanya, ‘Kamu tidak memuaskan keingin-tahuanku dengan keterangan yang hanya sedikit itu’ .
Aku mengambil kantung air dan tongkat lalu pergi menuju Mekkah. Aku tak tahu siapa dan seperti apa nabi itu, dan akupun tak mau menanyakan hal itu pada siapapun. Aku terus minum air zam-zam dan terus berdiam diri di sekitar Kabah. Lalu Ali lewat di depanku, dia bertanya, ‘Sepertinya anda orang asing disini? ‘Aku jawab ‘Ya’.
Dia mengajakku kerumahnya, aku lalu mengikutinya. Dia tidak menanyakan apapun padaku, Akupun tidak mengatakan apa-apa padanya.
Besok paginya aku pergi lagi ke Kabah untuk menanyakan sang nabi pada orang-orang di sana, tapi tak seorangpun mengatakan sesuatu tentangnya. Ali kembali lewat di hadapanku dan bertanya,
‘Adakah seseorang yang belum juga menemukan tempat tinggalnya?’, Aku bilang,’Tidak’. Dia berkata,
‘Kemari mendekatlah padaku’. Dia bertanya,
‘Anda punya urusan apa disini? Apa yang membuat anda datang ke kota ini?’. Aku bilang padanya,
‘Jika kamu bisa menjaga rahasiaku, maka aku akan mengatakannya ‘, Dia menjawab,
‘Akan aku lakukan’. Aku berkata padanya,
‘Kami mendengar bahwa ada seseorang di kota ini mengaku sebagai seorang nabi…aku mengutus seorang saudaraku untuk bicara dengannya dan waktu dia kembali, dia membawa kabar yang tidak memuaskan. Jadi aku berpikir untuk bertemu dengannya secara langsung’. Ali berkata,
‘Tercapailah sudah tujuanmu, Aku mau menemui dia sekarang, jadi ikutlah denganku dan kemanapun aku masuk, masuklah setelahku. Jika aku menjumpai seseorang yang mungkin akan menyusahkanmu, aku akan berdiri di dekat tembok berpura-pura memperbaiki sepatuku (sebagai tanda peringatan) dan anda harus segera pergi’.
Kemudian Ali berjalan dan aku mengikutinya sampai dia masuk ke suatu tempat dan aku masuk dengannya menemui sang nabi yang padanya aku berkata,
‘Terangkanlah hakikat Islam itu padaku’. Waktu dia menjelaskannya, aku langsung menyatakan masuk Islam seketika itu juga.
Nabi bersabda,’Wahai Abu Dzar, simpanlah perkataanmu itu sebagai rahasiamu dan kembalilah ke daerah asalmu dan apabila kamu mendengar kabar kemenangan kami, kembalilah temuilah kami’. Aku berkata,
‘Demi Dia Yang telah mengutus engkau dalam kebenaran, aku akan mengumumkan keIslamanku secara terang-terangan di hadapan mereka (kaum musyrikin)’. Abu Dzar pergi ke Kabah di mana banyak orang-orang Quraisy berkumpul, lalu berseru, ‘Hey, Kalian orang-orang Quraisy! Aku bersaksi (Ashadu a lâ ilâha ill-Allah wa ashadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu) Tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad itu hamba dan rasul Allah!’. Mendengar hal itu Orang-orang Quraisy itu berteriak,
‘Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)! Mereka bangkit lalu memukuliku sampai hampir mati. Al-Abbas melihatku lalu menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku. Lalu dia menghadapi mereka dan berkata,
‘Ada apa dengan kalian ini! Apakah kalian mau membunuh seorang dari kabilah Ghifar?, padahal selama ini kalian berdagang dan berkomunikasi melewati daerah kekuasaan mereka?!’. Mereka lalu meninggalkanku…
Besok paginya aku kembali ke Kabah dan berseru sama persis seperti yang aku lakukan kemarin, mereka kembali berteriak,
‘Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)!’. Lalu aku dipukuli (sampai hampir mati) sama seperti kemarin, dan kembali Al Abbas menemukan diriku dan menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku, dan dia berkata pada mereka sama seperti yang dia lakukan kemarin.
Menjadi Sahabat Nabi
Mendapat kepercayaan Nabi SAW, Abu Dzar ditugaskan mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Meskipun tak sedikit rintangan yang dihadapinya, misi Abu Dzar tergolong sukses. Bukan hanya ibu dan saudara-saudaranya, hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil diIslamkan. Itu pula yang mencatatkan dirinya sebagai salah seorang penyiar Islam fase pertama dan terkemuka.
Rasulullah sendiri sangat menghargainya. Ketika dia meninggalkan Madinah untuk terjun dalam “Perang pakaian compang-camping”, dia diangkat sebagai imam dan administrator kota itu. Saat akan meninggal dunia, Nabi memanggil Abu Dzar. Sambil memeluknya, Rasulullah berkata: “Abudzar akan tetap sama sepanjang hidupnya.” Ucapan Nabi ternyata benar, Abudzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan, ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.
Bagi Abu Dzar, masalah prinsip adalah masalah yang tak bisa ditawar-tawar. Itu sebabnya, hartawan yang dermawan ini gigih mempertahankan prinsip egaliter Islam. Penafsirannya mengenai “Ayat Kanz” (tentang pemusatan kekayaan), dalam surat At-Taubah, menimbulkan pertentangan pada masa pemerintahan Usman, khalifah ketiga.
“Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan Allah, beritahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan emas dan perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis: Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah engkau himpun.”
Atas dasar pemahamannya inilah, Abu Dzar menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Soal ini, sedikit pun Abu Dzar tak mau kompromi dengan kapitalisme di kalangan kaum Muslimin di Syria yang diperintah Muawiyah, saat itu. Menurutnya, sebagaimana dikutip dalam buku Tokoh-tokoh Islam yang Diabadikan Alquran, merupakan kewajiban Muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Untuk memperkuat pendapatnya itu, Abu Dzar mengutip peristiwa masa Nabi: “Suatu hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abu Dzar, terlihat pegunungan Ohad.
Nabi berkata kepada Abu Dzar, ‘Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah.”
Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa
Semasa hidupnya, Abu Dzar Al-Ghifary sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abu Dzar. Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di, di Syria. ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abu Dzar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abu Dzar sebagai ‘duri dalam daging’ bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al-Khizra, Abu Dzar salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, “Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan ‘israf’ (pemborosan).” Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abu Dzar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abu Dzar dan ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abu Dzar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah.
Pada saat Abu Dzar mengalami sakaratul maut, istrinya menangis dan iapun menanyakan mengapa ia menangis. Istrinya menjawab bahwa ia sedih karena tidak tahu bagaimana akan mengkafaninya karena tak ada 1 kainpun yang tersisa. Abu Dzar pun menceritakan kisahnya bersama Rasulullah, beliau bersabda :
“Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang–orang beriman…!”. Orang yang dimaksud Rasulullah itu benarlah Abu Dzar karena kemudian ada serombongan orang beriman yang lewat padang pasir yang berada di Rabadzah itu yaitu Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud menangis ketika melihat Abu Dzar telah meninggal dunia dan ia membenarkan ucapan Rasulullah pada saat perang Tabuk tentang Abu Dzar :
“Anda berjalan sebatang kara…Mati sebatang kara….Dan dibangkitkan nanti sebatang kara…!”
Rasulullah mengucapkan ini karena pada saat perjalanan menuju medan perang, Abu Dzar dan keledainya tertinggal dengan rombongan lainnya karena kelelahan dari keledainya. Akhirnya, Abu Dzar pun turun dari keledai itu dan membawa seluruh barang bawaannya di punggungnya untuk bergegas menyusul Rasulullah yang sudah berada jauh di depannya. Ketika Rasulullah melihat Abu Dzar yang berjalan dengan terburu–buru membawa banyak barang di punggungnya, Rasulullah pun tersenyum bahagia karena sungguh ia melihat seorang yang begitu kuat keinginannya untuk berjuang di jalan Allah tanpa ragu dan keengganan sedikitpun karena Rasulullah melihat kegembiraan di wajah Abu Dzar saat ia berlari bergegas menyusul Rasulullah.
Watak Abu Dzar yang sangat keras dan sangat menjunjung yang haq dan memberantas yang batil melalui ucapannya membuatnya berperan dalam dakwah Islam. Menurutnya, kebenaran yang tidak diucapkan bukanlah suatu kebenaran sehingga ia tidak segan menegur segala jenis kemungkaran yang dilihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Abu Dzar sangat memegang teguh apa yang telah Rasulullah wasiatkan padanya tentang cara menentang penguasa yang menumpuk harta untuk kepentingan pribadinya. Ia sangat ingat bahwa Rasulullah melarangnya untuk menggunakan pedang untuk mengatasi hal semacam itu. Oleh karena itulah, ia menggunakan lisannya yang lebih tajam dari pedang untuk mengingatkan para penguasa yang menumpuk harta untuk kepentingannya pribadi.
Abu Dzar Al-Ghifari juga merupakan seorang sahabat Nabi SAW yang terkenal dengan perbendaharaan ilmu pengetahuannya dan keshalehannya. Sayyidina Ali ra berkata mengenai Abu Dzar : “Abu Dzar ialah penyimpan jenis-jenis ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dari orang lain.”