Monday, September 10, 2012

Ujian Allah

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (TQS al-Ankabut [29]: 2-3).

Banyak orang merasa cukup ketika menyatakan diri sebagai Mukmin. Seolah pengakuan iman tidak mengandung konsekuensi bagi pelakunya. Padahal, pengakuan iman itu masih harus dibuktikan dalam bentuk sikap dan tindakan ketika menghadapi ujian dan cobaan. Ayat di atas memberitakan keniscayaan adanya ujian bagi pengakuan iman setiap orang untuk membuktikan kebenarannya.

Harus Diuji

Allah SWT berfirman: Aha-siba al-nâs an yutrakû an yaqûlû âmannâ wahum lâ yuftanûn (apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan [saja] mengatakan: "Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?). Ada beberapa riwayat mengenai sabab al-nuzûl ayat ini. Meskipun demikian, ayat ini tidak hanya berlaku untuk mereka. Sebab, kata al-nâs memberikan makna umum yang berarti meliputi seluruh manusia.

Kata hasiba dalam ayat ini bermakna zhanna (menduga, mengira). Sedangkan huruf hamzah di depannya merupakan istifhâm (kata tanya). Ibnu Katsir dan Sihabuddin al-Alusi menyimpulkan bahwa istifhâm dalam ayat ini bermakna inkâri (pengingkaran). Bisa juga, sebagaimana dinyatakan al-Syaukani, bermakna li al-taqrî' wa al-tawbîkh (celaan dan teguran). Artinya, mereka tidak dibiarkan begitu saja mengatakan telah beriman tanpa diuji dan dicoba seperti yang mereka kira. Mereka benar-benar akan diuji untuk membuktikan kebenaran pengakuan iman mereka.

Kata yuftanûn berasal dari kata al-fitnah. Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para mufassir mengenai kata tersebut. Mujahid, sebagaimana dikutip Ibnu Jarir, memaknainya lâ yuftanûn sebagai lâ yubtalûn (mereka diuji). Menurut al-Nasafi, pengertian al-fitnah di sini adalah al-imtihân (ujian) yang berupa taklif-taklif hukum yang berat, seperti kewajiban mening-galkan tanah air dan berjihad melawan musuh; melaksanakan seluruh ketaatan dan meninggalkan syahwat; ditimpa kemis-kinan, paceklik, dan berbagai musibah yang melibatkan jiwa dan harta; dan bersabar meng-hadapi kaum kafir dengan berbagai makar mereka.

Jika dikaitkan dengan nash lainnya, ujian yang diberikan Allah SWT itu tidak selalu dalam bentuk yang berat dan dibenci. Ada juga ujian yang menyenang-kan sebagiamana dalam firman-Nya: Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) (TQS al-Anbiya' [21]: 35).

Semua ujian itu berfungsi untuk membuktikan kebenaran iman seseorang. Dijelaskan Ibnu Katsir bahwa ujian yang diberikan itu sesuai dengan kadar keimanan pelakunya. Nabi SAW bersabda: Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian berikutnya dan berikutnya. Seseorang dicoba sesuai dengan (kadar) agamanya. Ketika dia tetap tegar, maka ditingkatkan cobaannya (HR al-Tirmidzi).

Menurut Ibnu Katsir ayat ini sejalan dengan beberapa ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar (TQS Ali Imran [3]: 142). Juga QS al-Baqarah [2]: 214.


Terbukti Iman atau Dusta

Setelah menegaskan adanya cobaan untuk menguji keimanan manusia, Allah SWT berfirman: walaqad fatannâ al-ladzîna min qablihim (dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka). Ayat ini memberitakan bahwa ujian keimanan itu tidak hanya diberikan kepada kalian, namun juga umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, ujian keimanan merupakan sunnatul-Lâh yang berlaku di setiap masa.

Dengan ujian dan cobaan itulah dapat diketahui pengakuan yang benar dan yang dusta. Allah SWT berfirman: falaya'lamannal-Lâh al-ladzîna shadaqû (maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar). Sebagai Dzat Yang Maha Mengetahui, Allah SWT telah mengetahui semua peristiwa, baik sebelum, sedang, maupun sudah terjadi. Oleh karena itu, al-'ilmu di sini dimaknai al-ru'yah. Hal ini sebagaimana makna lina'lama (agar Kami Mengetahui) dalam QS al-Baqarah [2]: 143) yang bermakna linarâ (agar Kami melihat). Menurut Ibnu Katsir, al-ru'yah (penglihatan) berkaitan dengan sesuatu yang ada. Sedangkan al-'ilm (pengetahuan) lebih dari itu, bisa menyangkut perkara yang ada maupun yang tidak ada.

Dalam Alquran cukup banyak diberitakan tentang orang-orang yang mampu membuktikan kebenaran imanan mereka sekalipun mendapatkan ujian yang besar. Dalam QS al-Shaffat [37]: 101-108, misalnya, dikisahkan ketegaran Ibrahim dan putranya dalam menghadapi al-balâ' al-mubîn (ujian yang nyata), berupa perintah menyembelih putranya. Perintah tersebut tentu merupakan ujian yang besar. Bagi Ibrahim, Ismail adalah perhiasan dunia yang paling dicintainya. Sementara bagi Ismail, nyawanya adalah harta paling berharga yang dia miliki. Namun mereka bersabar dengan perintah tersebut. Setelah terbukti ketaatan mereka, Allah SWT pun membatalkan perintah-Nya dan menebusnya dengan sembelihan yang besar.

Pembuktian keimanan juga berhasil ditunjukkan para ahli sihir yang bertanding dengan Musa as. Setelah melihat mukjizat Nabi Musa as, mereka segera bersujud dan menyatakan beriman. Fir'aun pun mengancam mereka akan memotong tangan dan kaki mereka secara silang dan menyalib mereka. Namun mereka tidak gentar dan tidak berpaling menjadi kafir kembali meskipun mendapatkan ancaman yang keras (lihat QS al-A'raf [7]: 115-126).

Dalam QS al-Hasyr [59]: 8-9 juga diberitakan mengenai kebenaran iman kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajirin tetap tegar mencari karunia Allah dan ridha-Nya; menolong agama Allah dan rasul-Nya sekalipun mereka diusir dari kampung halaman dan harta mereka. Mereka pun disebut sebagai al-shâdiqûn (orang-orang yang benar). Demikian pula kaum Anshar yang dengan senang hati menerima kehadiran kaum Muhajirin. Bahkan lebih meng-utamakan dari saudaranya atas diri mereka.

Allah SWT berfirman: wala-ya'lamanna al-kâdzibîn (dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta). De-ngan ujian tersebut, akan terlihat pula orang-orang yang dusta pengakuannya. Pengakuan iman mereka hanya terbatas di mulut saja, tidak melebihi kerongkongan. Dalam Alquran juga banyak dikisahkan tentang kaum yang gagal membuktikan kebe-naran iman mereka.

Dalam QS al-Baqarah [2]: 246 diceritakan mengenai Bani Israil yang meminta agar diangkat seorang pemimpin untuk mereka. Mereka juga menegaskan tidak akan keberatan jika diperintahkan untuk berperang di jalan-Nya. Akan tetapi, ketika diangkat pemimpin dan perang benar-benar diwajibkan, sebagian besar mereka berpaling.

Demikian pula kaum Munafik di Madinah. Ketika Madinah dikepung pasukan kaum Musyrikin, mereka mengatakan bahwa Allah SWT dan rasul-Nya hanya menjanjikan tipu daya (lihat QS al-Ahzab [33]: 12). Tak hanya itu, mereka bahkan memprovokasi penduduk Yatsrib untuk pulang dari medan pe-rang. Padahal sebelumnya mereka tekah berjanji kepada Allah untuk tidak mundur dari peperangan (lihat QS al-Ahzab [33]: 13, 15). Sikap mereka itu menjadi bukti nyata bahwa keimanan mereka dusta. Allah SWT pun berfirman: Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat (TQS al-Ahzab [33]: 14).

Demikianlah. Keimanan yang benar pasti akan melahirkan ketaatan terhadap syariah-Nya. Oleh karena itu, keterikatan dan ketaatan terhadap syariah bisa dijadikan sebagai tolok keimanan seseorang. Ketika seseorang senantiasa terikat dan taat terhadap syariah, sesulit dan seberat apa pun, keimanannya telah terbukti benar. Sebaliknya, ketika tidak mau taat, apalagi menolak, tentulah keimanannya patut diragukan. Semoga kita termasuk orang yang benar. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.

No comments:

Post a Comment