Thursday, May 30, 2013

Hilangnya Keberkahan Ilmu


Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga selalu ter­lim­pah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Seorang penun­tut ilmu, tentu tidak meng­inginkan ilmunya hilang begitu saja tanpa bekas. Ter­lebih lagi, jika yang hilang itu adalah keber­kahan ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menam­bah dekat dengan Allah ta’ala, namun jus­tru sebalik­nya, wal ‘iyadzu billah.

Tidak sedikit, kita jum­pai para penun­tut ilmu syar’i yang ber­usaha untuk meng­kaji kitab para ulama, bahkan ber­majelis dengan para ulama dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, per­kara ini adalah sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokoh­nya ilmu dalam diri setiap pribadi mus­lim, niscaya agamanya akan ter­topang lan­dasan yang kuat. Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul Muk­minin dalam bidang hadits, Muham­mad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahih­nya yang menegaskan, “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.” 

Begitu pula, per­kataan Imam Ahlus Sun­nah di masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullahyang sangat ter­kenal, “Umat manusia sangat mem­butuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka ter­hadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak hem­busan nafas.” (lihat al-’Ilmu, fadh­luhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah).

Akan tetapi…, tat­kala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami itu tidak sam­pai meresap serta ter­tan­cap kuat ke dalam lubuk hati, maka jus­tru musibah dan ben­cana yang ditemui. Tidak­kah kita ingat ung­kapan emas para ulama salaf yang menyatakan, “Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya ter­dapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya ter­dapat kemiripan dengan Nas­rani.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id min Surah al-Fatihah oleh Fadhilatusy SyaikhShalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jum­pai. Itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi.

Saudaraku, semoga Allah men­jaga diriku dan dirimu… Masih ter­simpan dalam ingatan kita, doa yang sepan­jang hari kita pan­jatkan kepada Allah, “Ya Allah, tun­jukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan­nya orang-orang yang Eng­kau ber­ikan nik­mat atas mereka, dan bukan jalan­nya orang-orang yang dimur­kai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nas­rani).” Inilah doa yang sangat ring­kas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullahpun menyebut­nya seba­gai doa yang paling ber­man­faat, meng­ingat kan­dungan­nya yang sangat dalam dan ber­guna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimur­kai karena mereka ber­ilmu namun tidak ber­amal. Adapun kaum Nas­rani ter­sesat karena mereka ber­amal tanpa lan­dasan ilmu. Maka, orang yang ber­ada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.

Dari sinilah, kita meng­etahui, bahwa hakekat keil­muan seseorang tidak diukur dengan banyak­nya hafalan yang dia miliki, banyak­nya buku yang telah dia beli, banyak­nya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyak­nya ustadz atau bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang dibang­gakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu, “Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyak­nya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah khas-yah/rasa takut –kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya Ibnul Qayyim rahimahullah).

Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat keras dalam ber­juang meng­gapai keikh­lasan dan menaklukkan hawa nafsu serta ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau ber­kata, “Tidaklah aku menyem­buhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-’Ilm oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu rah­matan wasi’ah).  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber­sabda, “Sesung­guh­nya setiap amal itu dinilai ber­dasarkan niat­nya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barang­siapa yang hijrah­nya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrah­nya itu akan sam­pai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang­siapa yang hijrah­nya karena [per­kara] dunia yang ingin dia gapai atau per­em­puan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrah­nya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Mus­lim).

Ikh­las, bukanlah ucapan yang ter­lon­tar di lidah, huruf yang ter­tulis dalam catatan, banyak­nya harta yang telah kita sum­bangkan untuk kebaikan, lamanya waktu kita ber­dakwah, atau penam­pilan fisik yang tam­pak oleh mata. Ikh­las adalah ‘per­mata’ yang ter­simpan di dalam hati seorang muk­min yang meren­dahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keber­hasilan yang akan men­jadi sebab ter­bukanya ger­bang keten­traman dan hidayah dari Allah ta’ala. Allah ta’ala ber­firman (yang artinya), “Orang-orang yang ber­iman dan tidak men­cam­puri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mem­peroleh keamanan dan mereka itulah orang-orang yang men­dapatkan hidayah.” (QS. al-An’am: 82). Allah ber­firman (yang artinya), “Pada hari [kiamat] tidak lagi ber­guna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang meng­hadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88–89). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber­sabda, “Sesung­guh­nya Allah tidak meman­dang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipan­dang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Mus­lim). Semen­tara kita semua meng­etahui, bahwa tanpa keikh­lasan tak ada amal yang akan diterima, Allahul musta’an.

Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kon­tem­porer yang sangat ter­kenal Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak men­jadi orang yang mem­buru popularitas. Beliau meng­utip ung­kapan para ulama kita terdahulu, Hubbuzh zhuhur yaqtha’uzh zhuhur, “Menyukai ‘keting­gian’ akan mematahkan pung­gung.Mak­nanya, gila popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian… Allah ber­firman (yang artinya), “Ber­ikanlah per­ingatan, sesung­guh­nya per­ingatan itu akan ber­guna bagi orang-orang yang ber­iman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).

Ikh­las -wahai saudaraku- … adalah rahasia kesuk­sesan dakwah nabi dan rasul serta para pen­dahulu kita yang salih. Ber­apapun jum­lah orang yang tun­duk meng­ikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai ber­hasil dan telah menunaikan tugas­nya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, mes­kipun ayah­nya  sen­diri produsen ber­hala, mes­kipun anak­nya sen­diri menolak per­in­tah Rabbnya, mes­kipun paman­nya sen­diri tidak mau masuk Islam yang diserukan­nya, mes­kipun tidak ada pengikut­nya kecuali satu atau dua saja, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali…! Mereka, adalah suatu kaum yang men­dapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikh­lasan dan ketaatan mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan amalan yang mereka miliki. Allah ta’ala ber­firman (yang artinya), “Barang­siapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan ber­sama dengan kaum yang men­dapatkan kenik­matan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)

Kalau kita memang ikh­las -wahai saudaraku- niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita men­dapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain… Kalau kita memang ikh­las -wahai saudaraku- maka amalan sekecil apapun tidak akan per­nah kita sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullahmeng­ingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang men­jadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar men­jadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah mem­berikan karunia keikh­lasan kepada kita...

No comments:

Post a Comment