Akhwatmuslimah.com – Poligami memang selalu enak dibicarakan, baik dari sisi positif maupun negatifnya. Pendukung utamanya biasanya barisan bapak-bapak (walaupun biasanya cuma omong doang). Dan yang bersuara sumbang biasanya barisan ibu-ibu, karena khawatir suaminya berpoligami. “Wanita mana sih yang mau membagi cinta” begitu katanya… “Rambut boleh beda warnanya tapi hati wanita tetap sama”.. begitu kata yang lainnya.
Saya pribadi di forum ta’aruf (di depan kelas, pengajian saat bertamu, dsb) sering dicecar dengan pertanyaan poligami. Biasanya ketika saya bilang anak saya 7 mereka langsung bertanya: “Dari berapa Istri ? “ (Rupanya program Soeharto- KB 2 anak cukup- sdh tertancap kuat di tengah kita). Bahkan setelah tahu saya poligamer banyak murid, sopir, bahkan ada “orang terhormat” yang konsultasi, yang intinya mereka ingin poligami, bagaimana kiat dan caranya. Saya coba rangkum dan sajikan dalam sebuah dialog Imajiner, sebagai berikut:
“ Pak ustadz .. katanya bapak punya istri dua ya? ..begini.. saya juga sama ingin poligami, saya sudah menemukan wanita yang saya idam-idamkan, rajin ibadahnya, sangat baik, kami sudah sering ngobrol, bertemu (???), bla..bla.. bla.. “ (intinya dia mengharapkan dukungan saya).
“Maaf.. bapak anaknya berapa? Istri di mana? … “
“Anak saya tiga pak ustadz.. istri saya di Indonesia” jawabnya.
“Bapak punya penghasilan tambahan yang tetap ? (karena saya sudah tahu gajinya sebagai sopir).. sudah punya rumah”.
Dia menjawab: “Nggak punya pak.. rumah boro-boro pak, anak istri di rumah orangtuanya” jawabnya jujur.
“Mmm.. Istri bapak jilbaban, ikut pengajian, dan anak-anak yg besar sudah pada sholat 5 waktu & bisa baca Qur’an?”
Dengan malu-malu ia menjawab: “Eee istri sudah disuruh tapi belum dapat hidayah tadz.. anak-anak juga sering dibilangin tapi ya begitu.. namanya anak-anak..pada seenaknya saja”.
Bagaikan detektif saya tanya lagi (he he…): “ Apa istri bapak merestui / tahu bapak nikah lagi?..Nanti kalo sudah nikah dan punya 2 istri apa istri pertama mau dibawa kesini atau justru istri kedua mau dipulangkan biar adil?”…
Dia diam saja, menunggu perkataan selanjutnya.
Akhirnya dia berkata dengan nada agak jengkel: “Apa sih maksud pak ustadz nanya ini itu? Bukannya ngedukung saya malah bikin saya bingung. Bukankah pak ustadz juga punya 2 istri?..kok kaya nggak setuju kalo saya juga menikah lagi, bukankah itu sunnah Rosul?..”
Setelah saya yakin prinsip awalnya untuk poligami sudah goncang dengan pertanyaan-pertanyaan saya, maka kulanjutkan:
“Saudaraku.. memang benar poligami dibolehkan, tapi perlu diingat..syari’at ini bukanlah sunnah/mustahab, hukumnya mubah atau boleh jika terpenuhi syarat-syaratnya. Dan syari’at poligami ini bukan untuk menghancurkan bangunan rumahtangga yang sudah terbina. Sehingga pastikan dulu bahwa rumahtangga anda sudah “beres” baru anda bisa membangun bangunan baru di sampingnya.”
“ Yang perlu diketahui.. di satu sisi poligami identik dengan bertambahnya tanggungjawab dunia-akherat bagi seorang suami. Anda wajib menafkahi 2 istri dan anak-anaknya, anda wajib membimbing agama 2 istri dan anak-anaknya, dan di akherat anda akan dihisab atas urusan mereka semuanya…”.
“Memang besaran gaji bukan penentu, tapi logikanya jika untuk satu istri saja kalangkabut, maka menikah lagi sama dengan mendzolimi istri tanpa diragukan lagi, dan Allah Ta’ala melarang kita berbuat dzolim, bahkan Rasulullah menganggap menelantarkan istri (termasuk dari sisi nafkah) adalah dosa yang tidak diragukan lagi”.
“Yang terpenting adalah aspek pembinaan agama.. jika satu istri saja tidak mampu “menjilbabinya” (kewajiban dasar wanita), anak-anak sholatnya asal-asalan, dsb.. bukankah menikah lagi waktu akan makin berkurang untuk memperhatikan istri pertama dan anak-anaknya?, dan ini berpeluang makin tidak terdidik agama mereka, yg artinya memperberat tanggungjawab akherat anda?”.
“Walaupun persetujuan istri tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan, tapi bagaimana mungkin anda hidup tenang dengan bayang-bayang keributan besar bahkan perceraian jika istri pertama yang tidak siap mengetahui suaminya berpoligami?.”
“Niat poligami “nekat” tanpa ilmu dan kesiapan yang cukup macam begini bukan mengikuti sunnah, bukan membangun.. tapi malah merusak. Merusak masa depan dan ketenangan hidup istri pertama dan anak-anaknya, merusak nama baik Islam, merusak citra poligami sebagai salah satu syariat, dsb.
“Maka dengan penuh cinta..saya sarankan bapak meninjau ulang bahkan buang jauh-jauh niat poligami ini.. Menabunglah yang benar, segeralah pulang, bahagiakanlah istri dan anak-anak bapak yang tengah menunggu dengan penuh harap. Didiklah istri dan anak-anak bapak agar makin dekat pada Allah dan lebih memahami dan mengamalkan Islam dengan sebaik-baiknya.. Yakinlah bapak akan menjadi pahlawan di mata mereka, bapak akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara, insya Allah.” Juga bapak terbebas dari dosa berpacaran dengan wanita yg bukan mahram. Lupakanlah dia..tinggalkanlah dia, percayalah.. ada banyak pria yang lebih baik dari bapak yang akan menjadi suaminya.
“Adapun saya.. saya agak berbeda dengan bapak. Pertama, saya tidak pernah berniat berpoligami tetapi amanah ini datang tiba-tiba.. Setelah berbagai pihak mengusahakan suami untuknya dan gagal semua, akhirnya menunjuk saya..dan saya terima amanah ini (wanita dengan 1 anak) dengan linangan airmata, dengan niat menyelesaikan satu diantara jutaan masalah ummat, dan istri saya sejak awal mengetahuinya sehingga kami memikul amanah berat ini bersama-sama. Tanpa istri pertama yang menguatkan, memahami, berkorban, dan mendoakan saya..terus terang saya tidak mampu menjalaninya.”
“Juga saya tidak berpacaran seperti bapak.. bahkan keringanan Islam untuk melihat calon istri sebelum menikah pun tidak saya manfaatkan..sekian lama setelah bapaknya mengucapkan ijab dan sekian lama setelah sah menjadi istri, barulah saya melihatnya.” “Dan demi keadilan saya berusaha mendatangkannya.. walaupun akhirnya dengan visa kerja, tetapi hanya beberapa bulan saya keluarkan dari tempat kerja, karena bagaimanapun suamilah yang wajib menafkahinya, dan sebaik-baik tempat bagi seorang istri adalah di rumahnya”.
Memang benar seorang wanita tidak dibenarkan menolak dibolehkannya poligami, bahkan menolak dan mengolok-olok syari’at poligami sama dengan mengolok-olok Islam dan pada kondisi tertentu ini bisa menyebabkan kekufuran. Tetapi seorang istri yang tahu suaminya benar-benar pas-pasan (kemampuan mendidik & ekonominya) maka melarang suaminya berpoligami (tentu dengan cara yang baik, dengan cara-cara yang cerdas, rasional, dan menyadarkan, dengan tetap mengimani bolehnya berpoligami) adalah sebuah kebijaksanaan. Bahkan menganjurkan suaminya tidak menikah lagi adalah bukti cinta pada suami, karena berarti menolong dan meringankan tanggungjawab akherat suami.
Adapun bagi wanita-wanita yang sudah tercerahkan agamanya, istri para ustadz yang diberi kelapangan ilmu dan rizki, jika ada “lajnah munakahat” yang menodong dan mengamanahi sang suami untuk menikahi seorang janda (misalnya ditinggal mati suami yang juga da’i).. maka bisa jadi kurang pantas kalau istri bersikap egois dan ingin “memiliki suami seutuhnya”.
No comments:
Post a Comment